
Dalam satu kunjungan ke Jatimulyo, saya berkesempatan treking santai bersama Mas Kelik dan Pak Jiman. Saat menyusuri setapak hutan perkebunan desa ramah burung itu, Pak Jiman tiba-tiba memberi tau saya.
“Dulu,” ujarnya, “sekali jalan begini saya bisa ‘panen’ sampai 20-an anakan sulingan.”
Sulingan, tledekan, sikatan cacing, pernah jadi primadona desa. Jenis yang paling diburu, dihargai lumayan mahal. Populasinya kini menurun drastis. Tak hanya di Jatimulyo, tapi seantero Jawa.
Syukur di lima tahun lalu terbit peraturan desa yang melarang perburuan burung. Pak Jiman, Mas Kelik, dan banyak warga Jatimulyo lainnya lantas berhenti dari aktivitas tak lestari itu.
Dan tak ingin kehilangan, merekapun mencoba bergerak, berbuat sesuatu. Kini mereka jadi garda terdepan konservasi desa lewat wadah bernama Kelompok Tani Hutan (KTH) Wanapaksi.
“Dulunya itu kapan, Pak?” Saya penasaran.
Pria yang lebih akrab disapa dengan nama Pak Tolo itu coba mengingat-ingat. Ia seperti berpikir keras, bergumam sendiri. Lantas, dengan mengacu tahun lahir salah satu anaknya, ia berujar, “Tahun-tahun 80-an lah.”
Itu sekira 30-40 tahun lalu. Masa kejayaan yang mungkin takkan pernah kembali lagi.
Konon, di Jakarta, daerah Gunung Sahari tepatnya, elang bondol pernah teramati sampai ratusan ekor, terbang dalam satu rombongan. Tercatat 80 tahun lalu.
Kini kita tau jumlahnya lebih banyak lagi. Mungkin ribuan, menempel di bodi Transjakarta. Yap, hanya gambarnya.
Belum lama ini, saat tenguk-tenguk di Berbah, daerah dekat bandara Adisucipto, suara bido tiba-tiba terdengar. Saya inguk, iya, benar. Sampai dua ekor bahkan.
Saya gumun. Hampir 20 tahun mengamati burung, jarang-jarang bisa lihat bido di seputaran kota Jogja.
Tapi, mungkin dulu, 40-50 tahun lalu, itu biasa. Beberapa jenis elang memang dikenal punya daya jelajah tinggi, bisa hidup di dekat pemukiman atau lahan garapan. Mungkin elang bondol ya gampang ditemui.
Terlintas di pikiran, kira-kira seperti apa keragaman burung di Berbah sekitar tahun 70-an? Info perkembangan tata kota, perubahan peruntukkan lahan, mungkin bisa dicari. Tapi, ke mana mesti cari tau jenis elang apa saja yang sliweran di Berbah saat itu? Bagaimana dengan seabad lalu?
Emprit bergerombol banyak. Dari tiga jenis, bondol jawa yang paling umum. Seorang kawan sekali waktu bilang pernah lihat gelatik jawa.
Tapi, apa 50 tahun lalu juga begitu? Apa ada juga jenis bondol lain, macam oto-hitam, binglis, dada-merah atau pipit benggala? Jenis apa yang paling umum?
Pijakan saya, ya yang saya tau. Entah dari informasi atau mengalami sendiri. Seperti waktu masih aktif ngampus–aktif tidur di kampus maksudnya, ketemu pleci itu saking gampangnya. Nge-flock puluhan ekor, mengerubung pohon sambil bercericit ramai. Saat berpindah, mereka terbang seperti bergelombang saking banyaknya.
Itu di rentang 10-15 tahun lalu. Kini, bisa lihat seekor saja sudah beruntung luar biasa. Kalau ada terdengar suara, terlebih dahulu harus memastikan itu asalnya dari kurungan atau memang benar liar.
Untuk pleci, ya, saya merasa kehilangan. Juga pada keberadaan jenis lain, seperti perenjak jawa, perenjak coklat atau pentet. Burung-burung penghuni pekarangan itu telah bergeser jadi penghuni teras rumah. Berbondong-bondong mereka diboyong pindah.
Ada perubahan lingkungan yang terjadi. Kondisi berbeda antara dulu dan kini, dari generasi ke generasi. Jenis yang umum dulu telah banyak yang jadi jarang. Sebaliknya, yang umum sekarang belum tentu dulu banyak. Entah pula nanti. Tidak banyak informasi yang kita punya pijakan soal itu.
Ini yang Sebastian van Balen jelaskan sebagai baseline shifting syndrome. Dalam presentasinya di Konferensi Peneliti dan Pemerhati Burung (KPPBI) IV, Semarang, 2018, ornitolog Belanda itu bercerita panjang lebar soal fenomena pergeseran pijakan di masyarakat dalam aspek ekologi.
Kembali ke Pak Jiman. Ia mengalami, tau dan merasakan fenomena keberadaan sikatan cacing di desanya, dari jenis yang umum menjadi langka seperti sekarang. Ia punya pijakan dari memori, sehingga bisa membandingkan. Saya tau karena mendapat informasi. Kalau tidak, saya akan mengira sulingan jarang itu ya biasa.
Buat yang tidak mengalami, tidak mendapat informasi, tidak akan tau. Paling parah, kalaupun punah tidak akan merasa kehilangan. Sebab, tidak punya memori soal itu, tidak punya informasi gambaran kondisi dahulu, sehingga tidak punya pijakan apa-apa untuk bisa membuat perbandingan.
***
Mohon maaf, karena keterbatasan saya jadinya contoh yang disebut hanya melulu Jawa. Mari coba bergeser sedikit.
Buat Kalimantan Barat, rangkong gading adalah fauna identitas provinsi. Namun, kini populasinya di alam sedang terjun bebas. ‘Tanduk’ (casque) di atas paruhnya diincar untuk jadi ukiran. Berharga sangat mahal dan buruan para kolektor.
Padahal ia lebih dari sekadar maskot provinsi. Ia tak ternilai artinya dalam tradisi budaya suku-suku di Kalimantan. Belum lama Tirto menyampaikan laporan soal ini.
Bagi Dayak Iban, rangkong gading adalah panglima para burung. Ia simbol pemimpin dunia atas, penjelmaan Sang Pencipta, wadah pengetahuan dan adat untuk manusia.
Pada Dayak Kayaan, masih dari Tirto, burung besar ini menjadi lumbung inspirasi seni. Terwujud dalam tato, musik dan tarian, juga aksesori.
Apa yang terjadi kalau identitas atau sumber inspirasi Anda hilang?
Garuda boleh saja di dadaku, silahkan bangga. Tapi elang jawa, satwa identitas nasional yang dianggap pengejawantahan sang Garuda, menghilang satu per satu dari habitatnya.
Jadi, sekadar saran, kalau mau menjadikan satwa sebagai logo atau maskot buat perusahaan, organisasi, atau instansi Anda, pilihlah yang cukup umum. Lalat hijau, uget-uget, atau apalah. Filosofi gampang dicari. Tapi yang punah, selamanya akan hilang tak kembali.
Sikatan cacing, pleci, rangkong gading, elang jawa, itu hanyalah beberapa. Bersama juga banyak lagi lainnya, mereka sedang antre punah. Dan kita sedang menuju parade kehilangan.
Tetapi kalau rangkong gading atau elang jawa punah, apa Anda akan merasa kehilangan? Akankah rasanya seperti, misalnya ditinggal orang yang Anda kasihi, sumber inspirasi dan separuh diri Anda?
Demi mencegah itu, banyak yang bisa dilakukan. Silahkan Anda bercita-cita jadi peneliti atau jadi anggota organisasi pejuang lingkungan. Atau, bekerja di kawasan konservasi misalnya. Selain mulia, Anda juga akan punya status pegawai negeri, idaman calon mertua.
Tapi, tentu tidak semua orang dapat menempuh cara itu. Tak apa tak lolos kriteria calon mantu. Yang penting terus berbuat sesuatu. Hal yang sederhana, yang kita bisa.
Terus saja mengamati burung, mencatat, lantas berbagi. Ya datanya, ya ceritanya. Syukur-syukur bisa keduanya. Karena yang kadung hilang, sekali lagi, tak akan bisa kembali.
Komentar Terbaru