Oleh: peburungamatir | Februari 11, 2021

Migrasi peburungamatir

Setelah 12 tahun, blog ini saya akhiri dan postingan ini jadi penutup tulisan. Saya lakukan guna menandai kepindahan saya ke belantara kota lain. Ya, peburungamatir juga turut bermigrasi.

Kini dan seterusnya, saya membuka lembaran baru di peburungamatir.blogspot.com. Kita bertemu di sana.

Oleh: peburungamatir | Januari 25, 2021

Adopsi Sarang: Inovasi Konservasi Burung dari Jatimulyo

Beberapa anggota KTH Wanapaksi saat pemasangan papan informasi sarang adopsi. Dari kiri ke kanan: Poniman, Suparman, Sudjoko (ketua KTH, berbaju hijau) dan Supangat. Dokumentasi Kelik Suparno.

Adopsi sarang, burung tentunya, bermula pada 2016. Dan seperti kami memulai kopi, itu terjadi spontan saja.

Tidak sespontan itu sih sebenarnya. Tetap ada obrolan berjilid sebelum kami melakukan sesuatu di Jatimulyo, diwarnai berbagai pandangan dan pertimbangan.

Aku jane skeptis pas ngobrolke adopsi awal mbiyen,” aku Kaspo. (Saya sebenarnya ragu saat ngobrolin adopsi awal dulu). Kira-kira dia bilang begitu, dan saya baru tau belum lama ini.

Tapi, skeptis itu memang nalurinya pemikir. Dan itu perlu, karena keraguan-keraguan yang muncul akan benar-benar dipertimbangkan antisipasinya, lalu dicarikan jalan keluarnya.

Sebenarnya, rumusan adopsi sarang cukup sederhana: apa yang bisa dilakukan sebagai upaya memberi nilai ekonomi langsung dari burung yang dibiarkan? Bagaimana caranya?

Nah, pertanyaan kedua itu yang sepertinya membuat Kaspo sempat ragu. Mungkin terbayang kalau jalannya tidak akan sederhana. Apalagi kami memulainya tanpa acuan.

Baru setelah ke sini-sini, kami jadi banyak dapat referensi soal kegiatan sejenis yang berjalan di beberapa negara. Satu yang gemilang dan patut diteladani, program untuk sarang rangkong di Thailand, inisiasi Prof. Pilai Poonswad.

Namun, meski mungkin sama di banyak hal mendasar, inisiatif di Jatimulyo itu jadi yang pertama. Untuk Indonesia, sekaligus yang menarget kelompok burung kicau.

Menyangkut burung-burung ocehan ini, Asia sedang menjadi sorotan tajam karena tingginya ancaman kepunahan. Songbird crisis sebutannya. Krisis terparah ada di Indonesia, lebih spesifik lagi, Jawa.

Krisis direspon dengan gelaran pertemuan-pertemuan perwakilan banyak negara. Kita dibombardir banyak hasil studi mencengangkan terkait berjuta-juta burung kicau yang diperdagangkan. Pasar burung dan rumah-rumah riuh, sementara hutan kosong, sepi tanpa kicauan.

Pertemuan-pertemuan itu menghasilkan, misalnya daftar jenis-jenis prioritas untuk diupayakan penyelamatannya. Bahkan, dari itu kini telah terbentuk IUCN Songbird Trade Specialist Group.

Program-program di Jatimulyo, tanpa bermaksud sebagai respon atau jadi turunan dari pertemuan, ternyata selaras dengan isu tersebut.

Kami hanya melakukan yang terpikir saja. Soal ini, dan inilah salah satu hal yang paling menyenangkan buat saya dalam beraktivitas di Jatimulyo, kami bisa mengeksekusi ide-ide yang piye-piyene pikir keri. Soal ‘desa ramah burung’ misalnya, sebagaimana tertulis di sini.

Adopsi sarang ya begitu itu.

Burung sebagai salah satu potensi hasil hutan perkebunan di Jatimulyo, sudah tidak lagi bisa dimanfaatkan secara langsung. Peraturan Desa No 8/2014 menjadikan aktivitas penangkapan burung di wilayah desa terlarang. Pelanggaran akan dikenai sanksi.

Padahal, tidak sedikit warga Jatimulyo yang memperoleh pendapatan dari kegiatan itu. Sulingan alias sikatan cacing sebagai primadona desa, bisa dijual Rp 250 ribu untuk anakan. Dewasa bisa mencapai Rp 750 ribu.

Jenggot atau empuloh janggut, juga punya harga lumayan tinggi. Tapi, memang akibat penangkapan yang tidak berasas kelestarian, populasi dua itu kemudian jadi berkurang drastis saat ini.

Nasib naas menimpa kacer atau kucica kampung, maskotnya Kulon Progo. Mungkin dia bisa dibilang punah dari Jatimulyo. Padahal menurut Mas Kelik, kacer Kulon Progo punya ciri tersendiri yang berbeda dari lainnya, meskipun sama-sama dari Jawa. Ia bahkan berbeda dari populasi yang ada di Purworejo, meskipun secara geografis berdekatan.

Dengan adanya perdes, burung sebagai komoditas seakan tertutup jalannya untuk jadi sumber pendapatan. Itu yang kemudian kami upayakan alternatifnya, pertama lewat mediasi kopi.

Tapi tetap perlu ada cara lain yang bisa memberi nilai ekonomi pada burung secara langsung. Perlu membuka peluang mengkomoditaskan burung, tapi yang berkelanjutan.

Satu cara dengan memperkenalkan Jatimulyo sebagai destinasi wisata pengamatan burung kami lakukan. Tapi belum banyak memberi dampak. Kunjungan turis asing masih pada kisaran dua bulan sekali. Pasar domestik belum terbentuk, meski sekarang ini mulai bertumbuh.

Lantas terbersit adopsi sarang. Tentu tidak seperti adopsi hewan pada umumnya yang dengan diadopsi hewan akan jadi hak milik pengadopsi.

Adopsi sarang berbeda. Ia berlaku sebagai bentuk apresiasi pada warga Jatimulyo. Merekalah pemilik burung-burung desa mereka, yang telah membiarkan burung bebas di alam. Lebih-lebih, mereka menjaga, menjamin keberadaannya, dan menyukseskan burung itu berkembang biak.

Itu harus diapresiasi tinggi-tinggi. Dan apresiasinya berupa pemberian dana insentif pada beberapa pihak di desa.

Beberapa pihak yang kami identifikasi, yakni penemu sarang, pemilik lahan, dan komunitas setempat. Komunitas ini ada dua. Pertama, Kelompok Tani Hutan Wanapaksi sebagai pengelola program. Kedua, komunitas tempat sarang ditemukan, bisa lingkup RT, RW atau pedukuhan.

Penemu sarang bisa saja sang pemilik lahan. Tapi pada prakteknya, penemu sarang mensyaratkan orang berkemampuan khusus. Dalam hal ini, ya dia yang suka berburu burung. Syukur kalau sang penemu sarang adalah juga pemilik lahan, dia dapat dua koin.

Di era sebelum perdes, para pemburu ini saling berebut mencari burung. Tidak peduli di lahan siapa, penemu pertama dengan bebasnya mengambil. Burung dianggap komoditas bebas tanpa pemilik.

Padahal, kalau dilihat sebagai komoditas, burung bisa jadi hak milik. Tetapi tentu sulit membuat klaim itu karena kemampuan terbang atau sedemikian bebasnya ia bergerak dan berpindah.

Termudah, karena bisa dipastikan, ya ketika burung bersarang. Pertama, si burung pasti akan menetap di suatu lahan warga. Kedua, dia bersarang di suatu lahan itu karena merasa aman, nyaman, dan terfasilitasi.

Atas dasar inilah burung menjadi hak milik si empunya lahan. Ia potensi yang bisa dimanfaatkan dan bernilai ekonomi sebagaimana cengkeh, kopi, kapulaga atau apapun itu yang ada di lahan seseorang. Siapapun tidak bisa seenaknya mengambil karena sama saja mencuri.

Dalam sebuah wawancara, Ign. Pramana Yuda berujar, “Adopsi sarang burung adalah praktik inovasi baru yang menarik.” Demikian yang disampaikan Presiden Perhimpunan Ornitolog Indonesia IdOU sekaligus dosen di Universitas Atma Jaya Yogyakarta itu dalam laman situs berita lingkungan Ekuatorial.

Menjaga sarang, menjaga bentang alam

Dorongan kepemilikan ini yang coba kami gaungkan. Ketika burung bernilai ekonomi langsung, jadi hak milik, kami berharap itu akan mendorong penjagaan atau perlindungan, baik ke si burung maupun ke habitat tempat ia bersarang. Habitat tempat bersarang terjaga, minimal pemilik lahan tidak menghilangkan daya dukung untuk burung bersarang. Syukur-syukur mengupayakan perawatan, bahkan habitat improvement, sehingga burung betah dan mau bersarang lagi di sana.

Habitat akan terjaga. Di lingkup yang lebih luas, bentang alam terjaga. Begitu yang jadi cita-cita.

Menjaga bentang alam Jatimulyo, atau Menoreh dalam skala lebih luas, jadi PR besar. Pembangunan-pembangunan dalam rangka pengembangan wisata demikian gencarnya. Menoreh jadi kawasan penyangga Candi Borobudur, dan Jatimulyo masuk di dalamnya. Pariwisata, pembangunan infrastruktur berbagai skala, terus digenjot.

Pengangkatan Menoreh bersama Merapi dan Merbabu sebagai cagar biosfer mungkin juga dorongan ke arah sana. Tiga bentang alam ini berdiri mengelilingi candi Budha terbesar di dunia itu. Dan Borobudur, dicanangkan sebagai destinasi wisata unggulan nasional.

Menoreh, Merapi, dan Merbabu sebenarnya kan bentang alam yang berbeda. Manusianya sudah saking banyaknya, dengan segala potensi masalah masing-masing. Dua bentang alam terakhir telah jadi kawasan konservasi, dikelola sebagai taman nasional. Kenapa mesti dicagarbiosferkan? Kenapa harus tiga itu digabungkan? Apa karena semua berawalan M?

Ah, tapi itu pertanyaan yang terlalu njlimet untuk dipikir sendiri. Bisa kurus saya nanti.

Cuma, salah satu motifnya mungkin memang ekonomi. Iya nggak sih? Yaa, semoga tidak berseberangan dengan semangat pelestarian.

Kembali ke adopsi sarang. Kami ingin agar pandangan burung liar sebagai hak milik itu tumbuh dan meluas. Bahwa burung yang ada di lahan seseorang ada pemiliknya. Sebagaimana pohon mangga yang tumbuh di rumah Anda, juga tanaman hias, rumput dan bunga-bunga. Perlu izin dulu kan kalau mau petik, minta baik-baik. Tidak bisa sembarang ambil karena akan jadi perkara. Kan, begitu. Begitu, kan?

Gotong-royong untuk konservasi

Dari kopi, kami menyisihkan sedikit keuntungan penjualan untuk memulai adopsi sarang itu. Pada perkembangannya kemudian, identifikasi mengenai jenis yang layak masuk prioritas adopsi makin banyak. Di sisi lain, kawan dari komunitas pengamat, pemerhati dan fotografer, banyak yang tertarik untuk ikut terlibat menjadi pengadopsi.

Keterlibatan ini membuka peluang untuk khalayak yang lebih luas lagi. Siapa saja akan bisa berkontribusi pada upaya pelestarian burung. Upaya konservasi selayaknya disengkuyung bersama. Gotong-royong, katanya, satu ciri masyarakat kita.

Yang perlu didorong kemudian adalah membentuk komunitas untuk menggawangi kegiatan itu. Awalnya Masyarakat Pemerhati Burung Jatimulyo. Namun, wadah itu terlalu cair. Kini wadah itu telah formal sebagai Kelompok Tani Hutan Wanapaksi. Satu organisasi resmi, legal, diakui desa, independen, dan dalam koordinasi di bawah Dinas Kehutanan provinsi. KTH Wanapaksi inilah pemilik dan pelaksana program adopsi sarang.

Ketika membuka keterlibatan publik yang luas, rumusan skema, tata cara, pengaturan hak dan kewajiban pihak-pihak terlibat, perlu dituangkan. Di sini kemudian Yayasan Kanopi Indonesia dan Bisa Indonesia berperan. Dua lembaga yang sangat mumpuni dan berpengalaman ini yang setahun terakhir menggodoknya bersama KTH Wanapaksi, merumuskan dokumen yang tertuang dan jadi pegangan bersama.

Saat bertemu di Februari tahun lalu untuk mengajak keterlibatan mereka, saya hanya sekadar mengingatkan kalau Jatimulyo adalah kawah candradimukanya pengamat burung Jogja. Medan laga terbuka untuk berkarya.

Syukur itu disambut baik, meski mungkin awalnya penerimaan mereka seperti seakan dilempari beban tugas. Tapi, coba simak yang diuraikan Kaspo di blog-nya. Betapa para pengamat burung Jogja telah mewarnai Jatimulyo di rentang hampir 20 tahun ini. Semoga itu terus berlanjut hingga ke depannya, entah sampai kapan, dengan masyarakat Jatimulyo sebagai aktor utamanya.

Satu hal, selain apresiasi dan motif ekonomi, adopsi sarang juga jadi sarana pengembangan riset. Saat ini yang telah dilakukan baru riset sederhana terkait pakan dan perkembangbiakan.

Dari yang sederhana itu saja, bisa jadi potensi mengisi relung informasi dunia pengetahuan. Cekakak jawa, misalnya. Ternyata tidak banyak informasi yang tersedia soal pakannya. Sudah ada, tapi tidak lengkap. Selain bisa menambah daftar jenis pakan yang belum pernah tercatat atau dilaporkan sebelumnya, informasi terkait proporsi pakannya juga bisa diketahui. Temuan dari Jatimulyo, 50% pakannya berupa yuyu, katak dan tonggeret.

Itu baru satu sarang, belum sarang lain. Itu baru di Jatimulyo, belum di tempat lain. Dan data bisa terekam karena ada monitoring rutin dari adopsi yang dilakukan.

Hingga pertengahan 2019, ada 20 sarang yang diadopsi, dari enam jenis burung. Sekarang sudah lebih banyak lagi. Yang baru bisa didata baik ya satu sarang cekakak jawa itu. Saya nggak bermaksud hitung-hitungan kesempatan yang hilang. Ya sayang saja sebenarnya, padahal bisa jadi peluang penelitian, buat skripsi misalnya. Sempat kami tawarkan, tapi mungkin karena temuan sarang sifatnya insidental, tidak bisa dijadwal, jadi terlalu dadakan waktunya. Tidak ada mahasiswa yang bisa karena ada alur panjang akademik yang harus ditaati.

Tetapi ke depan, semoga bisa banyak yang mau penelitian. Bapak ibu dosen nantinya akan bisa mengutus mahasiswanya penelitian di Jatimulyo.

Sejauh ini, sudah ada satu mahasiswa S-1 dan dua mahasiswa S-2 yang terjun meneliti. Semuanya telah rampung. Khusus dua mahasiswa S-2 itu, mereka sudah jadi master, master burung.

Terkini, ada lagi calon master yang tengah berupaya mengkaji pelaksanaan program adopsi sarang, baik dari sisi ekologi, sosial, dan ekonomi. Semoga lancar dan selesai dengan memuaskan.

Kopi Sulingan lebih mengalokasikan dana konservasinya ke riset-riset macam itu (lebih lanjut di sini). Tidak seberapa sih jumlahnya, lebih sebagai suplemen, dan tidak mengikat.

Sementara adopsi sarang, itu jadi akses publik, masyarakat luas tak terkecuali Anda para filantropis yang peduli. Lewat adopsi sarang Anda bisa berkontribusi langsung pada konservasi burung dan habitatnya.

Anda bisa mempelajari seluk-beluk adopsi sarang lewat Booklet Adopsi Sarang Burung Jatimulyo. Dan mari bergabung dalam aksi nyata, inovasi konservasi yang lahir dari sebuah desa.

Oleh: peburungamatir | Desember 31, 2020

Mencegah Parade Kehilangan

Pemandangan barisan kurungan berisi burung yang dijajakan di satu ruas jalan, Aceh, 2017.

Dalam satu kunjungan ke Jatimulyo, saya berkesempatan treking santai bersama Mas Kelik dan Pak Jiman. Saat menyusuri setapak hutan perkebunan desa ramah burung itu, Pak Jiman tiba-tiba memberi tau saya.

“Dulu,” ujarnya, “sekali jalan begini saya bisa ‘panen’ sampai 20-an anakan sulingan.”

Sulingan, tledekan, sikatan cacing, pernah jadi primadona desa. Jenis yang paling diburu, dihargai lumayan mahal. Populasinya kini menurun drastis. Tak hanya di Jatimulyo, tapi seantero Jawa.

Syukur di lima tahun lalu terbit peraturan desa yang melarang perburuan burung. Pak Jiman, Mas Kelik, dan banyak warga Jatimulyo lainnya lantas berhenti dari aktivitas tak lestari itu.

Dan tak ingin kehilangan, merekapun mencoba bergerak, berbuat sesuatu. Kini mereka jadi garda terdepan konservasi desa lewat wadah bernama Kelompok Tani Hutan (KTH) Wanapaksi.

“Dulunya itu kapan, Pak?” Saya penasaran.

Pria yang lebih akrab disapa dengan nama Pak Tolo itu coba mengingat-ingat. Ia seperti berpikir keras, bergumam sendiri. Lantas, dengan mengacu tahun lahir salah satu anaknya, ia berujar, “Tahun-tahun 80-an lah.”

Itu sekira 30-40 tahun lalu. Masa kejayaan yang mungkin takkan pernah kembali lagi.

Konon, di Jakarta, daerah Gunung Sahari tepatnya, elang bondol pernah teramati sampai ratusan ekor, terbang dalam satu rombongan. Tercatat 80 tahun lalu.

Kini kita tau jumlahnya lebih banyak lagi. Mungkin ribuan, menempel di bodi Transjakarta. Yap, hanya gambarnya.

Belum lama ini, saat tenguk-tenguk di Berbah, daerah dekat bandara Adisucipto, suara bido tiba-tiba terdengar. Saya inguk, iya, benar. Sampai dua ekor bahkan.

Saya gumun. Hampir 20 tahun mengamati burung, jarang-jarang bisa lihat bido di seputaran kota Jogja.

Tapi, mungkin dulu, 40-50 tahun lalu, itu biasa. Beberapa jenis elang memang dikenal punya daya jelajah tinggi, bisa hidup di dekat pemukiman atau lahan garapan. Mungkin elang bondol ya gampang ditemui.

Terlintas di pikiran, kira-kira seperti apa keragaman burung di Berbah sekitar tahun 70-an? Info perkembangan tata kota, perubahan peruntukkan lahan, mungkin bisa dicari. Tapi, ke mana mesti cari tau jenis elang apa saja yang sliweran di Berbah saat itu? Bagaimana dengan seabad lalu?

Emprit bergerombol banyak. Dari tiga jenis, bondol jawa yang paling umum. Seorang kawan sekali waktu bilang pernah lihat gelatik jawa.

Tapi, apa 50 tahun lalu juga begitu? Apa ada juga jenis bondol lain, macam oto-hitam, binglis, dada-merah atau pipit benggala? Jenis apa yang paling umum?

Pijakan saya, ya yang saya tau. Entah dari informasi atau mengalami sendiri. Seperti waktu masih aktif ngampus–aktif tidur di kampus maksudnya, ketemu pleci itu saking gampangnya. Nge-flock puluhan ekor, mengerubung pohon sambil bercericit ramai. Saat berpindah, mereka terbang seperti bergelombang saking banyaknya.

Itu di rentang 10-15 tahun lalu. Kini, bisa lihat seekor saja sudah beruntung luar biasa. Kalau ada terdengar suara, terlebih dahulu harus memastikan itu asalnya dari kurungan atau memang benar liar.

Untuk pleci, ya, saya merasa kehilangan. Juga pada keberadaan jenis lain, seperti perenjak jawa, perenjak coklat atau pentet. Burung-burung penghuni pekarangan itu telah bergeser jadi penghuni teras rumah. Berbondong-bondong mereka diboyong pindah.

Ada perubahan lingkungan yang terjadi. Kondisi berbeda antara dulu dan kini, dari generasi ke generasi. Jenis yang umum dulu telah banyak yang jadi jarang. Sebaliknya, yang umum sekarang belum tentu dulu banyak. Entah pula nanti. Tidak banyak informasi yang kita punya pijakan soal itu.

Ini yang Sebastian van Balen jelaskan sebagai baseline shifting syndrome. Dalam presentasinya di Konferensi Peneliti dan Pemerhati Burung (KPPBI) IV, Semarang, 2018, ornitolog Belanda itu bercerita panjang lebar soal fenomena pergeseran pijakan di masyarakat dalam aspek ekologi.

Kembali ke Pak Jiman. Ia mengalami, tau dan merasakan fenomena keberadaan sikatan cacing di desanya, dari jenis yang umum menjadi langka seperti sekarang. Ia punya pijakan dari memori, sehingga bisa membandingkan. Saya tau karena mendapat informasi. Kalau tidak, saya akan mengira sulingan jarang itu ya biasa.

Buat yang tidak mengalami, tidak mendapat informasi, tidak akan tau. Paling parah, kalaupun punah tidak akan merasa kehilangan. Sebab, tidak punya memori soal itu, tidak punya informasi gambaran kondisi dahulu, sehingga tidak punya pijakan apa-apa untuk bisa membuat perbandingan.

***

Mohon maaf, karena keterbatasan saya jadinya contoh yang disebut hanya melulu Jawa. Mari coba bergeser sedikit.

Buat Kalimantan Barat, rangkong gading adalah fauna identitas provinsi. Namun, kini populasinya di alam sedang terjun bebas. ‘Tanduk’ (casque) di atas paruhnya diincar untuk jadi ukiran. Berharga sangat mahal dan buruan para kolektor.

Padahal ia lebih dari sekadar maskot provinsi. Ia tak ternilai artinya dalam tradisi budaya suku-suku di Kalimantan. Belum lama Tirto menyampaikan laporan soal ini.

Bagi Dayak Iban, rangkong gading adalah panglima para burung. Ia simbol pemimpin dunia atas, penjelmaan Sang Pencipta, wadah pengetahuan dan adat untuk manusia.

Pada Dayak Kayaan, masih dari Tirto, burung besar ini menjadi lumbung inspirasi seni. Terwujud dalam tato, musik dan tarian, juga aksesori.

Apa yang terjadi kalau identitas atau sumber inspirasi Anda hilang?

Garuda boleh saja di dadaku, silahkan bangga. Tapi elang jawa, satwa identitas nasional yang dianggap pengejawantahan sang Garuda, menghilang satu per satu dari habitatnya.

Jadi, sekadar saran, kalau mau menjadikan satwa sebagai logo atau maskot buat perusahaan, organisasi, atau instansi Anda, pilihlah yang cukup umum. Lalat hijau, uget-uget, atau apalah. Filosofi gampang dicari. Tapi yang punah, selamanya akan hilang tak kembali.

Sikatan cacing, pleci, rangkong gading, elang jawa, itu hanyalah beberapa. Bersama juga banyak lagi lainnya, mereka sedang antre punah. Dan kita sedang menuju parade kehilangan.

Tetapi kalau rangkong gading atau elang jawa punah, apa Anda akan merasa kehilangan? Akankah rasanya seperti, misalnya ditinggal orang yang Anda kasihi, sumber inspirasi dan separuh diri Anda?

Demi mencegah itu, banyak yang bisa dilakukan. Silahkan Anda bercita-cita jadi peneliti atau jadi anggota organisasi pejuang lingkungan. Atau, bekerja di kawasan konservasi misalnya. Selain mulia, Anda juga akan punya status pegawai negeri, idaman calon mertua.

Tapi, tentu tidak semua orang dapat menempuh cara itu. Tak apa tak lolos kriteria calon mantu. Yang penting terus berbuat sesuatu. Hal yang sederhana, yang kita bisa.

Terus saja mengamati burung, mencatat, lantas berbagi. Ya datanya, ya ceritanya. Syukur-syukur bisa keduanya. Karena yang kadung hilang, sekali lagi, tak akan bisa kembali.

Older Posts »

Kategori