Oleh: peburungamatir | Desember 5, 2020

Tiga Payung Pengusung ‘Desa Ramah Burung’

Kaspo dan Mas Kelik saat pemasangan plang di pedukuhan Jonggrangan, Jatimulyo, Oktober 2016.

Sebutan ‘desa ramah burung’ kadung tersemat pada Jatimulyo. Sebentuk penghargaan untuk rumah nyaman bagi setidaknya 106 jenis burung yang telah terdata.

Namun, sebenarnya apa sih desa ramah burung itu?

Dalam Jalan Panjang Desa Ramah Burung, Kaspo a.k.a. Sidiq Harjanto mendefinisikannya sebagai desa yang punya kepedulian terhadap kelestarian burung maupun habitatnya. Penelusur gua yang sedang vakum lama itu kemudian menambahkan, desa dimana burung dapat hidup berdampingan dengan manusia tanpa saling mengusik.

Saya sepakat dengannya. Dan sebagaimana yang ia singgung dalam tulisan di blog-nya itu, awal penahbisan slogan tersebut memang tidak terencana. Spontan saja, saat kami bermaksud membuat banner, plang-plang informasi sebagai bentuk sosialisasi Peraturan Desa No 8/2014 mengenai Pelestarian Lingkungan Hidup yang diterbitkan pemerintah desa.

Berpegang pada yang disampaikan pihak desa saat itu, kami diperbolehkan membuat plang, namun dengan isi atau narasi yang netral. Tidak boleh berbentuk larangan. Jadilah pada 2016 dua plang informasi berdiri di enam titik seputaran desa. Satu bertuliskan ‘Desa Ramah Burung’, satunya ‘Kawasan Pelestarian Burung’.

Awalnya sesederhana itu.

Hingga kemudian seiring waktu, Jatimulyo bersama si slogan makin dikenal di kalangan para pengamat dan pemerhati burung. ‘Memaksa’ saya dan Kaspo untuk mulai mencoba merumuskan, mengajukan pertanyaan sebagaimana yang jadi pembuka tulisan.

Definisi dari Kaspo telah sangat mengena dan gamblang. Pertanyaan selanjutnya, seperti apa bentuk kepedulian itu, sehingga suatu desa layak menyandang sebutan ramah burung?

Kiranya ada tiga hal yang bisa jadi indikator. Dan agar berima sama dengan burung, sebut saja indikator itu sebagai payung pengusung.

Payung pertama, tentu ada burung di sana. Boleh jadi hanya satu jenis, tapi itu dikenal, diketahui dan jadi perhatian. Ketika keragaman jenisnya tinggi, bentuk perhatian akan sampai pada pendataan jenis burung yang ada.

Di era Kaspo mendata bersama tim kampusnya, hingga 2014, ada 68 jenis yang tercatat di Jatimulyo. Lantas, terus bertambah seiring intensitas kunjungan banyak pengamat. Dalam makalah kami di 2019, jumlahnya naik menjadi 99 jenis. Saya posting di sini. Setahun terakhir, Mas Kelik menyebut sudah menjadi 106 jenis.

Kedua, ada bentuk kesepakatan atau komitmen bersama di masyarakat untuk melindungi burung dan habitatnya. Pada Jatimulyo, bentuknya peraturan desa. Di Desa Ake Jawi, Halmahera Utara, wujudnya deklarasi. Itu tercetus pada 2019 lewat upaya Akhmad David Kurnia Putra dan timnya dari Taman Nasional Aketajawe Lolobata, sebagaimana diberitakan di sini. Sementara di Kampung Hakim Bale Bujang, Aceh, pada tahun yang sama, komitmen hasil inisiasi Agus Nurza dan rekan-rekannya itu tertuang sebagai qanun (selengkapnya di sini).

Mewujudkan komitmen bersama masyarakat desa memang perjuangan tersendiri. Saya yakin banyak pengamat burung yang tengah berupaya untuk itu atau sedang dalam proses berpikir keras mencari cara. Semoga dimudahkan.

Di Jatimulyo, peraturan desa murni lahir atas inisiatif pemerintah desa. Pak Anom Sucondro, lurah saat itu, mengatakan dorongannya lahir dari keresahan atas hilangnya banyak jenis burung akibat maraknya perburuan. Tidak ada dorongan langsung dari pengamat burung. Kalaupun ada, sifatnya tidak langsung. Mungkin dari melihat geliat aktivitas dan kunjungan para pengamat yang tinggi atau komunikasi informal terkait hasil pendataan yang tersampaikan ke pihak desa. Pada Jatimulyo, kami sangat beruntung. Semestanya mendukung.

Ketiga, dan ini yang menantang, bahwa dari dua hal pertama, ada upaya lebih lanjut untuk kemudian desa atau masyarakat desa bisa mendapatkan manfaat dari burung dan upaya pelestarian yang sudah dilakukan.

Pengupayaan di Jatimulyo berawal dari ‘gugatan’ Pak Anom. Saat hadir di JBW Jagongan Menoreh, dalang ini memaparkan peraturan desa yang belum lama ditetapkannya.

Sepenangkapan saya, Pak Anom seperti mengatakan, “Sekarang sudah ada peraturan desa, burung telah dilindungi dan perburuan dilarang.”

Kemudian, “Setelah tau itu dilindungi, setelah tau banyak jenis yang penting atau endemik, lalu apa? Masa’ hanya pendataan-pendataan terus?”

Kira-kira begitu. Jadilah forum itu ajang diskusi mengungkap potensi lain hutan perkebunan Jatimulyo. Terlontar kopi sebagai potensi yang layak diunggulkan.

Pengusahaan kopi kemudian jadi strategi pertama untuk melakukan upaya konservasi burung. Strategi mlipir berkelok naik-turun, indirect. Mlipir karena pengusahaan kopi tidak langsung terkait dengan burung. Kami mesti kait-kaitkan sehingga memilih nama Kopi Sulingan.

Memproduksi kopi sebagai usaha yang kami jalankan sederhananya hanya bentuk substitusi pemanfaatan satu potensi dari hutan perkebunan. Komoditas yang diangkat untuk menggantikan burung. Ketika dulu, di era berburu dan meramu sebelum ada peraturan desa, burung diambil kopi dibiarkan. Setelah terbit peraturan desa, giliran kopi yang diambil, burung dibiarkan.

Meskipun mlipir, tapi strategi yang Kaspo istilahkan sebagai ‘diplomasi kopi’ ini jadi bentuk yang sangat dekat, dikenal dan mudah diterima oleh masyarakat. Kopi, saya kira banyak yang akan sepakat, mampu mengakrabkan suasana. Kawan menyenangkan untuk mencairkan obrolan.

Kaspo lah yang punya peran kunci di sini. Sosoknya telah cukup dikenal di Jatimulyo karena telah sedemikian lama dan intens berkegiatan. Ia KKN di sana, sampai sekarang. Menyambangi Mas Kelik, yang saat itu diakuinya juga baru kenal, pasti akan berbeda sambutannya ketika ujug-ujug saya yang datang. Lha, KTP Tangerang, di Jogja ya cuma numpang. Bahasa Jawa blepotan pula.

Kopi kemudian jadi pintu masuk. Apalagi konsep shade-grown coffee atau kopi naungan klik untuk Jatimulyo. Ada pula sertifikasi tingkat global dengan fokus mengangkat pengusahaan kopi yang bersahabat buat burung bernama bird-friendly coffee. Kopi bisa nyambung untuk omong burung.

Setelah itu baru upaya memulai strategi kedua, strategi tembak lurus, direct, yang mengupayakan pemanfaatan ekonomi langsung dari burung yang dibiarkan. Perburuan bentuknya eksploitatif, tidak menjamin kelestarian, dan sudah dilarang. Yang bisa berkelanjutan, menurut kami, wujudnya dua: ekowisata burung dan program adopsi sarang.

Ekowisata berjalan lewat dua aktivitas, pengamatan dan fotografi burung. Sedikit banyak sudah saya singgung sebelumnya di sini.

Ekowisata burung dapat sangat menjanjikan, berdaya jual tinggi dan akan bisa dikelola secara berkelanjutan. Usaha yang dilakukan suku Bugun di Arunachal Pradesh, India, menurut saya adalah salah satu contoh terbaik. Silahkan berdecak kagum membaca dua artikel ini: From a new bird to a new community reserve: India’s tribe sets example dan Bird business: the man who taught his tribe to profit from conservation.

Pencapaian mereka sungguh layak jadi gantungan cita-cita. Namun, pandemi global seperti sekarang ini jadi pengingat betapa rentannya sektor wisata. Ia memang sangat menggiurkan dan berdampak besar secara ekonomi. Tetapi kemudian kita sama tau, ia, juga wisata pada umumnya, jadi sektor yang kolaps di urutan pertama dan itu seketika. Saya tidak mengetahui kondisi masyarakat sana saat ini. Namun, sebagaimana pengharapan banyak orang, semoga kondisi segera pulih.

Indonesia sebenarnya sudah berkali-kali mengalami keterpurukan di wisata. Bali, seketika sepi saat terjadi peristiwa bom. Ramai-ramai banyak negara mengeluarkan travel ban setelahnya. Peristiwa Mei 98 juga demikian. Dan masih banyak lagi kejadian.

Hal yang sama terjadi di Jatimulyo. Ekowisata burung yang baru mulai merangkak, kemudian langsung tiarap.

Saat sembari merangkak dulu, kami juga mencoba strategi tembak lurus yang lain bernama adopsi sarang. Tapi akan terlalu panjang kalau program yang pertama berjalan di 2016 tersebut saya uraikan di sini. Jadi, lanjut untuk berikutnya saja.

Itulah setidaknya tiga hal yang bisa dirumuskan sebagai bentuk penjabaran desa ramah burung. Pengamatan burung, pendataan potensi, adalah tahap awal. Adanya komitmen atau kesepakatan bersama di masyarakat, perlu diupayakan. Entah nantinya tertuang sebagai peraturan desa, deklarasi sebagaimana di Ake Jawi, qanun seperti di Aceh, hukum adat, nota kesepahaman, pakta, atau apapun itu namanya.

Setelahnya, upaya kebermanfaatan. Atau bisa jadi langkahnya dengan mengupayakan dulu pemanfaatan, setelah terlihat nyata baru mendorong lahirnya kesepakatan.

Sangat mungkin ada wilayah yang bisa diangkat sebagai desa ramah burung lewat strategi tembak lurus, tak perlu mlipir. Mungkin juga pertama memang harus mlipir, tetapi bukan lewat kopi. Banyak kemungkinan.

Intinya, persoalan ekonomi selayaknya juga dijawab dengan ekonomi. Burung harus dilindungi agar lestari hingga anak cucu, itu tentu mulia, amat baik, tetapi normatif. Saya yang belum punya anak, apalagi cucu, kan nggak bisa bilang begitu.

Namun sekali lagi, itu baik. Nilai atau manfaat tidak melulu harus terpatok secara ekonomi. Saya banyak melihat inisiatif-inisiatif perlindungan burung tingkat desa seperti Jatimulyo. Tidak ada plang desa ramah burungnya, tanpa perlu berpayah mencari strategi mlipir atau repot-repot mencari indikator sebagai pembenaran sebagaimana yang kami lakukan. Murni itikad baik saja, kesadaran yang tumbuh untuk menjaga yang tersisa. Menarik sebenarnya untuk bisa mengetahui semangat-semangat yang terbangun di balik itu.

Apapun jalannya, penyematan ‘desa ramah burung’ semoga bisa jadi pendekatan di desa manapun, dan mampu terus berjalan tak hanya sebagai slogan. Penting untuk berkolaborasi, karena nyaris tidak mungkin dilakukan sendiri.

Khusus buat Jatimulyo, kami bersepakat ‘desa ramah burung’ adalah proses, cita-cita yang tertulis. Kadung terpampang di banner soalnya.


Tinggalkan komentar

Kategori